Monday, February 27, 2012

Mahzab


Mazhab Salafi

Pendirinya adalah Ahmad Taqiyuddin, Abdul Abbas bin Syihabudin, Abu Mahasin Abdul Halim bin Majdudin, Abil Barakat Abdus Salam bin Abi Muhammad Abdillah bin Abi Utsman Al-Khadar, bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Keluarga ini disebut keluarga Ibn Taimiyah. Kata "Taimiyah" berasal dari kakaknya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar. Ia menunaikan haji ke Mekah melalui jalan Taima. Sekembalinya dari haji ia dapati isterinya melahirkan seorang anak wanita, yang lalu diberi nama Taimiyah dan keturunannya dinamai keturunan Ibn Taimiyah.

Ahmad Taqiyuddin, yang kemudian populer dengan sebutan Ibn Taimiyah, dilahirkan di desa Haran, sebuah desa kecil di Palestina, pada tanggal 10  Rabi'ul  Awal 661H. Sejak kecil ia belajar agama dari ayahnya, Syihabudin. Syihabudin adalah seorang ulama pengikut mazhab Hanbali. Begitu pula ayah Syihabudin, Majdudin, yang juga ulama besar penganut mazhab Hanbali. Setelah berusia 7 tahun, pada tahun 667 H, seluruh keluarga Ibn Taimiyah mengungsi ke Damsyik, Syria, karena desanya akan diserang oleh tentara Tartar (Mongol) yang saat itu sudah menduduki Baghdad. Penduduk Damsyik saat itu merupakan gabungan dari penganut mazhab Hanbali, Syafi'i, dan Maliki.

Syihabudin lantas bergabung dengan sebuah madrasah agama dari mazhab Hanbali yang ada di kota itu. Dan anaknya, Taqiyuddin (Ibn Taimiyah) dimasukkan pula ke sekolah itu. Di situlah Ibn Taimiyah memperoleh seluruh ilmunya. Ibn Taimiyah kemudian menjadi ulama besar mazhab Hanbali, bukan saja dalam ilmu fiqih, tetapi juga dalam ushuludin.

Sayangnya, ia kemudian terpengaruh oleh faham musyabihah dan mujassimah, yaitu kelompok yang mengatakan bahwa Tuhan itu menyerupai manusia, memiliki tangan, kaki, dan wajah. Di dalam fiqih, walaupun ia menganut mazhab Hanbali, namun banyak pula fatwa-fatwanya yang berlainan dengan mazhab Hanbali yang murni. Karenanya, Ibn Taimiyah merupakan ulama penganut mazhab Hanbali yang terkadang menyeleweng dari mazhabnya. Ia terkadang berfatwa sendiri, lepas dari garis mazhab Hanbali, tetapi ushul fiqihnya tetap mengikuti mazhab Hanbali, karena ia tidak memiliki ushul fiqih sendiri. [Muhammad Yusuf Musa, Ibn Taimiyah, hal. 168-170]
 
Ketika beragam pendapat—baik pada dataran teologi maupun fiqih—bermunculan, sehingga lahirlah berbagai mazhab yang saling bertentangan, muncullah sekelompok ulama yang menyadari bahwa kondisi ini tidak sehat. Sehingga, mereka ingin mengembalikan berbagai persoalan agama sebagaimana zaman sahabat dan tabi'in, yang mereka sebut salaf ash-shalih. Karena itu, mereka menamakan diri mereka Salafiyun. Kelompok ini pun kemudian dikenal dengan nama Salafi, yang mengklaim bahwa merekalah pengikut sejati salaf ash-shalih. Setelah kelompok ini kuat dan memiliki banyak pengikut, muncullah Ibn Taimiyah sebagai penolong dan pembimbing mereka. Tidak hanya itu, Ibn Taimiyah juga menyuburkan metode mazhab ini, melalui tulisan-tulisannya yang menyanggah lawan-lawan pemikirannya. [Mustafa Muhammad asy-Syak'ah, Islam Tidak Bermazhab, hal. 388-389]

Beberapa pendapat kontroversial Ibn Taimiyah:

1. Ibn Taimiyah menegaskan bahwa singgasana Allah berbentuk datar, bukan berbentuk bola. Karena, kalau berbentuk bola, maka Allah juga berbentuk bola. [Ibn Taimiyah, Majmu' ar-Rasa'il, jil. 2, bag. 4, hal. 112]

2. Dr. Muhammad Yusuf Musa, dalam bukunya yang sangat berpihak kepada Ibn Taimiyah, berkata, "Bagaimanapun, ia dibawa ke pengadilan dengan tuduhan memercayai bahwa Tuhan itu benar-benar duduk di atas 'Arsy, boleh ditunjuk dengan jari ke atas, serta berkata-kata dengan huruf dan suara. Jaksa menuntut agar Ibn Taimiyah dihukum mati. Setelah ketua pengadilan, Qadhi Ibn Makhluf, bertanya kepada Ibn Taimiyah tentang tuduhan itu, ia memulai jawabannya dengan mengucap hamdalah dan salawat, seperti berpidato. Ibn Taimiyah bertanya, 'Siapa ketua pengadilan?' Dijawab, 'Ibn Makhluf.' Ibn Taimiyah lalu berkata, 'Engkau musuhku, bagaimana bisa menghukumku?' Kemudian Ibn Taimiyah dihukum penjara... Ibn Taimiyah sendiri meninggal pada tanggal 20 Dzulqaidah 728 H (September 1328 M)." [Muhammad Yusuf Musa, Ibn Taimiyah, hal. 102-104]
 
3. Mufti dan Syaikhul Islam Taqiyuddin Al-Husaini ad-Dimasyqi (w. 829 H) berkata, "Abu Hasan Ali ad-Dimasyqi meriwayatkan dari ayahnya, bahwa suatu ketika ayahnya itu menghadiri majlis Ibn Taimiyah di Masjid Damsyik. Ibn Taimiyah memberi pelajaran di hadapan umum. Ketika sampai kepada ayat: Tuhan ber-istawa di atas 'Arsy, maka ia mengatakan bahwa Tuhan duduk bersila di atas 'Arasy seperti sila saya ini. Seketika para pendengar menjadi ribut, karena Ibn Taimiyah menyerupakan silanya dengan istawa Allah. Akibatnya, Ibn Taimiyah pun dilempari dengan sandal, sepatu, dan diturunkan dari kursinya, ditampar, dan diusung ramai-ramai." [Taqiyuddin al-Husaini ad-Dimasyqi, Daf'us Syubah man Tasyabbahan wa Tamarrad, hal. 41]

4. Ibn Batutah berkata, "Di Damsyik terdapat seorang ahli fiqih dari mazhab Hanbali, yang bernama Taqiyudin Ibn Taimiyah. Ia banyak membicarakan ilmu pengetahuan, namun sepertinya ada yang tidak beres pada otaknya (fi 'aqlihi syai'un). Penduduk Damsyik begitu menghormati orang ini. Suatu hari ia mengajar dengan berdiri di atas mimbar masjid Damsyik yang besar itu. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertentangan dengan para ahli fiqih lainnya. Sehingga akhirnya ia diadukan kepada Raja Nashir yang berkedudukan di Kairo (Damsyik ketika itu berada di bawah kekuasaan Mesir—penerj.). Ia lalu dibawa ke Kairo dan dihadapkan dengan beberapa tuduhan dalam sebuah pengadilan. Qadhi saat itu adalah Syarafudin Zawawi, seorang ahli fiqih dari mazhab Hanbali juga. Tetapi Ibn Taimiyah tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, kecuali hanya mengucap La Ilaha Illallah. Akhirnya ia dijebloskan ke penjara. Setelah dipenjara beberapa saat di Kairo, ibunya mengajukan permohonan kepada Raja Nashir agar anaknya itu dibebaskan. Raja Nashir mengabulkan permohonan ini. Lalu Ibn Taimiyah dibebaskan, dan pulang ke Damsyik. Tetapi terjadi lagi hal serupa. Ketika itu aku sedang berada di Damsyik. Aku menghadiri majlisnya (Ibn Taimiyah—penerj.) pada hari Jum'at, di mana ia berkhutbah di atas mimbar masjid jami'. Di antara ucapannya adalah bahwa 'Allah turun ke langit dunia seperti turunnya saya sekarang ini'. Lalu ia turun satu anak tangga mimbar. Ketika itu hadir seorang ulama mazhab lain, yang bernama Ibn Zahra. Ahli fiqih ini kemudian menyanggah perkataan Ibn Taimiyah tersebut, karena ia telah menyerupakan Allah dengan dirinya. Seketika orang-orang pun berdiri dan memukuli Ibn Zahra dengan tangan dan sandal mereka, hingga surbannya terjatuh…. Ibn Taimiyah lalu dihadapkan lagi ke pengadilan. Dan pengadilan memutuskan bahwa ia telah melakukan kesalahan dalam fatwanya, baik dalam isu fiqih maupun ushuludin. Sehingga, ia pun dijebloskan lagi ke penjara, dan meninggal dalam penjara benteng Damsyik itu."  [Ibn Batutah, Ar-Rihlah, jil. 1, hal. 57]

5. Ibn Hajar al-Asqalani meriwayatkan sebagaimana pernyataan Ibn Batutah di atas, bahwa sembari turun dari mimbar Ibn Taimiyah berkata, "Allah turun ke langit dunia seperti turunnya saya sekarang ini." [Ibn Hajar al-Asqalani, Durr al-Kaminah, jil. 1, hal. 154]

Syaikh Abdullah al-Harari asy-Syafi'i menyebutkan dalam kitabnya bahwa (ketika ia menyusun kitabnya tersebut) telah terdapat 58 kitab Ahlusunah yang menolak akidah Ibn Taimiyah, dan 83 kitab Ahlusunnah yang menolak akidah Muhammad bin Abdul Wahab. [Syaikh Abdullah al-Harari, Maqalat as-Sunniyah fi Kasyfi Dhalalat Ahmad Ibn Taimiyah, hal. 238-251]. Atau, dapat pula dilihat di situs beliau: http://www.anwar-alislam.be/haraniRefuted.htm, di bawah judul: Min 'Ulama Ahlusunnah Alladziina Raddu 'Alaa Ibn Taimiyah, yang menampilkan daftar ulama Ahlusunah—baik ulama klasik maupun kontemporer—dari semua mazhab (Syafi'i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi) yang menolak  Ibn Taimiyah. Di situ baru disebutkan 80 ulama saja.

Jamal Effendi az-Zahawi juga membuat daftar ulama Ahlusunah yang menolak faham Salafi-Wahabi, yang jumlahnya mencapai 50 ulama beserta karya-karya mereka. [Jamal Effendi az-Zahawi, The Doctrine of Ahl al-Sunna Versus the Salafi Movement, hal. 7-15] Atau, dapat dilihat di situs: http://www.sunnah.org/articles/Wahhabiarticleedit.htm, di bawah judul Wahhabism: Understanding the Roots and Role Models of Islamic Extremism.

Ibn Batutah berkata tentang Ibn Taimiyah, "Ada yang tidak beres pada akalnya." [Ibn Batutah, Ar-Rihlah, hal. 57].

Ali bin Makhluf (seorang qadhi mazhab Maliki di Mesir, w. 718 H) berkata, "Ibn Taimiyah berkata tentang tajsim (penjasadan Allah). Bagi kami, siapa saja yang berkeyakinan seperti ini, maka ia adalah kufur dan wajib dibunuh." [Min 'Ulama Ahlusunnah Alladzina Raddu 'Alaa Ibn Taimiyah, www.anwar-alislam.be]

Tajudin as-Subki asy-Syafi'i berkata, "Aku mendapati salah satu dari kitabnya (Syaikh Syihabudin al-Halabi) yang menolak pandangan Ibn Taimiyah. Sedangkan pandangan akidah Ahlusunah adalah sebagai berikut….Mengenai kemustahilan Allah menempati ruang, telah dibuktikan oleh hadis dan penjelasan ulama. Dan kebatilan akidah Ibn Taimiyah tersebut telah dibuktikan pula oleh Al-Qur'an dan hadis. Pelaku bid'ah menganggap bahwa mereka mengikuti mazhab salaf. Padahal, mazhab salaf itu tauhid. Bagaimana mungkin para salaf itu berakidah tasybih (penyerupaan) atau diam saja terhadap munculnya akidah bid'ah! Sungguh, Allah telah berfirman, 'Jangan kalian campur aduk kebenaran dan kebatilan.'" [Tajudin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi'iyah, jil. 9, hal. 34, 36, dan 83]

Ibn Hajar al-Haitsami berkata, "Allah telah menjadikan Ibn Taimiyah tersesat dalam bid'ah dan azab. Dia telah menjadikannya tuli dan buta. Harus dinyatakan bahwa ia adalah seorang pelaku bid'ah, yang sesat dan menyesatkan. Ia pun seorang yang bodoh dan ekstrem." [Ibn Hajar al-Haitsami, Fatawa al-Haditsiyah, hal. 114]

Al-Hafizh adz-Dzahabi pernah menjadi murid Ibn Taimiyah. Bahkan adz-Dzahabi sering memujinya. Hubungan baik di antara keduanya tidak diragukan lagi. Namun demikian, ini tidak menghalangi adz-Dzahabi untuk mengkritik tajam (kalau tidak bisa dibilang mengecam) Ibn Taimiyah. Pernyataannya tersebut termuat dalam tulisannya yang berjudul: An-Nashihah adz-Dzahabiyah li Ibn Taimiyah. Berikut kutipannya:

"Semoga keberkahan bagi seseorang yang kesalahannya mengalihkan perhatiannya dari kesalahan-kesalahan orang lain. Dan terkutuklah seseorang yang kesalahan orang lain telah mengalihkan perhatiannya dari kesalahannya sendiri. Berapa lama lagi Anda akan melihat biji sawi di mata saudara Anda, sementara Anda melupakan batang pada diri Anda sendiri? Berapa lama lagi Anda akan memuji diri Anda sendiri dan mengoceh, sembari mengolok-olok para ulama, dan mencari kelemahan orang lain? Demi Allah, Anda mesti membiarkan kami. Anda adalah orang yang suka berdebat, dan diberkahi dengan lidah pandai yang tak pernah berhenti. Berhati-hatilah dari pertanyaan rewel seputar agama. Karena, terlalu banyak bicara tanpa bukti akan mengeraskan hati." [Bayan Zaghal al-'Ilm, hal. 32-33]

"Sampai kapan Anda akan menggali fitnah filsafat yang ruwet, yang tidak dapat kami terima di akal? Para pengikut Anda menolong Anda dan berjuang untuk Anda dengan kata-kata dan perbuatan. Tidakkah mayoritas dari murid-murid Anda itu lumpuh dan terikat, buta, pendusta, bodoh, aneh, dan terlihat saleh tetapi tidak memahami? Jika Anda tidak percaya, maka lihatlah sendiri keadaan mereka, dan nilailah dengan adil. Saya tidak berharap bahwa Anda akan menerima kata-kata saya atau mendengar teguran saya. Sebaliknya, (mungkin) Anda justru akan berupaya keras menulis berjilid-jilid buku demi menolak satu halaman (tulisan) ini."  [Bayan Zaghal al-'Ilm, hal. 33-34]

Pihak yang mendukung surat ini meyakini keotentikannya. Alasannya, berdasarkan penelitian terbukti bahwa tulisan pada surat tersebut adalah asli tulisan tangan adz-Dzahabi. Bahkan ulama terkemuka Ahlusunah sekaliber al-Hafizh as-Sakhawi pun mengakui tulisan itu sebagai karya adz-Dzahabi. Selain beliau, tulisan itu juga ditegaskan oleh ulama besar Ahlusunah lainnya, Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari.

Tidak hanya itu, bahkan as-Sakhawi mengutipkan pula kalimat kritikan adz-Dzahabi lainnya kepada Ibn Taimiyah. Adz-Dzahabi berkata, "Meskipun saya telah lama mengenal dan mengamati Ibn Taimiyah, saya dapati bahwa satu-satunya alasan mengapa orang-orang Mesir dan Syria membencinya, mencacinya, dan menyebutnya pembohong atau bahkan kafir, adalah dikarenakan rasa bangga diri, keangkuhan, hasrat, dan cintanya akan publisitas." [Al-Hafizh as-Sakhawi, Al-I'lan bi at-Taubikh li Man Dzamma at-Ta'rikh, hal. 136]

Ibn Hajar al-Asqalani juga mengutip pernyataan adz-Dzahabi tentang Ibn Taimiyah, "Dalam diskusi, ia selalu memperlihatkan kemarahan dan permusuhan terhadap lawan-lawannya, sehingga menanamkan permusuhan pada mereka. Bila saja ia memperlakukan lawan-lawannya dengan sopan, maka mereka akan menghormatinya. Karena, sebagian besar orang-orang terkemuka mereka bisa menerima pengetahuannya, mengakui semangatnya, dan sepakat bahwa penyelewengannya sedikit." [Ibn Hajar al-Asqalani, Durar al-Kaminah, jil. 1, hal. 161]

Taqiyudin as-Subki—mantan pengagum Ibn Taimiyah—juga mengecamnya. Dalam salah satu kitabnya, as-Subki berkata tentang Ibn Taimiyah, "Pengetahuannya melampaui daya pikirnya." [Taqiyudin as-Subki, Ar-Rasa'il as-Subkiyah, hal. 151-152]

Wassalam,
M. Anis

No comments:

Post a Comment