Monday, February 27, 2012

Menyalakan Gen Positif


Saya ingin mengawali tulisan ini dengan kisah yang pernah menimpa penulis hebat namun memiliki rupa yang tak seberapa. Dialah peraih nobel sastra (1925) George Bernard Shaw. Konon, penulis asal Inggris ini luar biasa cerdas, sehingga pada satu ketika ada seorang gadis cantik yang jatuh cinta kepadanya.

Namun sayang, meski cantik gadis ini, otaknya kurang mendukung kecantikan parasnya, otaknya telah bongkok dan jongkok (tapi ini bukan pembenaran bahwa gadis cantik selalu berotak jongkok). Sedangkan Shaw adalah lelaki yang secara paras kurang begitu menarik, namun otaknya luar biasa cemerlang (ini juga bukan pembenaran bahwa lelaki yang susah dibilang ganteng selalu memiliki otak yang cemerlang, hhehe).
 
Suatu hari, gadis cantik berotak jongkok itu menyatakan hasratnya kepada lelaki buruk rupa berotak encer itu. Hasrat gadis ini tak lain adalah, ingin agar lelaki itu menjadi suaminya. Harapannya jelas, dia ingin agar keturunanya kelak memiliki otak cerdas seperti lelaki itu, dan memiliki paras menawan seperti dirinya. Maka, alasan itulah yang dikemukakannya kepada Shaw. Shaw pun mengangguk-anggukkan kepala tanpa tersinggung sedikit pun. Dia lalu menyodorkan satu kemungkinan lain yang mungkin tak terpikirkan oleh gadis itu.
 
"Bagaimana jika yang terjadi kelak anak kita nanti berotak sepertimu, dan berwajah sepertiku?"
 
Menurut ilmu genetika, banyak hal yang kita warisi. Apa-apa yang melekat pada diri kita, baik sifat maupun fisik, adalah warisan dari orang tua kita. Bentuk wajah, warna rambut, bentuk hidung, maupun perawakan. Silakan periksa dirimu, mirip siapakah kamu: ayah, ibu, kakek, nenek, atau siapa? Saya juga setelah memeriksa diri, perawakan saya mirip ibu saya yang rupawan. Yasalaaamm...
 
Lalu saya memerhatikan sebuah realitas lain, bahwa yang diwariskan bukan hanya sifat dan fisik semata. Melainkan, nasib juga seolah diwariskan. Lihat saja Marcella Zalianty dan Olivia Zalianty yang ibunya juga seorang artis. Lihat pula Ghita Gutwa anak Erwin Gutawa, Ridho Rhoma anak Rhoma Irama. Nasib orang tua mereka seolah ikut diwariskan kepada mereka. Melihat hal demikian, saya merasa menyesal kenapa saya tidak dilahirkan dari keluarga artis saja. Barangkali kalau saya menjadi anak bang Haji, tentu akan ada duo pria ganteng bersuara merdu dan (maaf) berbulu; Ridho dan Fatih Rhoma ##*%$#@)))!!!!!
 
Namun, itu adalah pandangan saya dahulu. Saya memandang bahwa seorang anak orang kaya dan orang tuanya punya keahlian hebat, bakal mengalami hal yang serupa. Setelah saya membaca dan memelajari genetika, ternyata itu berbeda sama sekali. Bahkan, pengetahuan baru tentang struktur genetika saya dapatkan juga.
 
Menurut ilmu genetika, segala sesuatu yang merupakan "bakat" ditentukan oleh kode genetis yang ada dalam DNA. Sebagai gambaran saja—menurut Prof. Murakami—bahwa setiap kilogram tubuh kita terdapat sekitar 1 trilyun sel. Berarti, setiap bayi yang lahir sudah memiliki sekitar 3 trilyun lebih sel. Padahal awalnya, kita ini berasal dari satu sel yang dibuahi, yang kemudian membelah menjadi 2, 2 menjadi 4, menjadi 8, dan selanjutnya. Subhanallah ya.
 
Nah, setiap sel itu memiliki inti sel (nucleus) yang mengandung DNA. DNA inilah yang menyimpan kode genetis yang menjadi blue print tubuh kita. Akan menjadi apa kita, sudah terprogram dalam DNA tadi. Pertanyaannya, bagaimana sebuah sel tahu bahwa ia berperan sebagai rambut? Tidak selesai sampai di sana, bagaimana pula sel itu tahu kapan tumbuh, kapan memutih, kapan rontok, dan sebagainya?
 
Ternyata, menurut pakar genetika, terdapat mekanisme "NYALA/PADAM" pada DNA tadi. Contohnya, gen yang menentukan sifat kelamin laki-laki (bersuara berat, berkumis, dsb) yang semula "padam" menjadi "menyala" ketika memasuki masa pubertas. Jadi, yang menyebabkan sel tahu bahwa dia akan menyifati seorang laki-laki ketika masuk masa pubertas. Masa puberlah yang MENYALAKAN DNA tadi. Jadi, lingkunganlah yang menyebabkan mekanisme NYALA/PADAM ini.
 
Lebih jauh, menurut penelitian dua ilmuwan dari Institut Pasteur, bahwa mekanisme "NYALA/PADAM" tersebut memang ditentukan oleh keadaan lingkungan. Berdasarkan penelitian, bahwa bakteri E. Coli yang hanya memakan glukosa, ternyata akan memakan laktosa ketika ditempatkan pada lingkungan yang banyak laktosa. Ini sangat aneh, karena bakteri adalah makhluk bersel satu. Sehingga bakteri yang memakan glukosa kemudian berubah menjadi pemakan laktosa SEOLAH SEPERTI MENYALAKAN SEBUAH POTENSI BARU KARENA LINGKUNGAN MENGONDISIKANNYA BEGITU.
 
Intinya begini. Kita adalah makhluk yang terdiri dari bertrilyun-trilyun sel. Karena Allah sudah merancang satu sel saja mampu melakukan mekanisme "NYALA/PADAM", maka saya yakin kita ini memiliki potensi yang sama seperti sel pembentuk kita ini. Kita memiliki mekanisme NYALA/PADAM. Syaratnya, kita mau mencari sebuah kondisi dimana kondisi tersebut mampu me-NYALAKAN POTENSI kita yang MASIH PADAM.
 
Sejenak saya ingin mengajak kamu untuk menyusuri malam-malam yang barangkali diisi dengan penyesalan, ratapan, dan keluhan: mengapa saya lahir dari keluarga yang tak berada? mengapa ayah dan ibu saya bukan artis, mengapa saya tidak bisa menjadi penulis yang hebat, mengapa saya tidak bisa main gitar, mengapa saya tidak bisa membuat puisi, mengapa saya belum juga berhasil dalam bisnis, dan mengapa-mengapa lainnya.
 
Teman, yang membuat Andrea Hirata menjadi penulis novel hebat bukan karena ayahnya seorang novelis luar biasa. Atau pernah ada kakek buyutnya yang menerima hadiah nobel bidang sastra. Yang membuat Andrea Hirata mampu melakukan pencapaian seperti saat ini, karena Andrea mampu menciptakan kondisi di mana pencapaiannya saat ini termungkinkan. Dia banyak melahap buku, senang melakukan riset, dan aktivitas positif lainnya--ditambah sedikit keberuntungan. Andrea Hirata, untuk mencapai kapasitas sebagai penulis yang "pernah" diperhitungkan, tidak mengandalakan keturunan semata.
 
Kalau hanya mengandalkan bakat keturunan saja, maka pembalap Formula 1 yang paling fenomenal saat ini, Lewis Hamilton, akan menjadi pekerja di Jawatan Kereta Api seperti kakeknya, atau menjadi konsultan IT seperti ayahnya. Tetapi, bakat membalap Lewis Hamilton ternyata MENYALA ketika ayahnya memberikan Go Kart sebagai hadiah. Dan semakin berkobar nyala itu ketika diasuh Ron Dennis, boss McClaren.
 
Lalu Fatih Zam, hehehe... Kalau hanya mengandalkan bakat keturunan saja, mungkin saat ini tengah melakukan entah apa karena ayahnya hanya seorang pekerja serabutan. Atau kini sudah menjadi pegawai di dinas kebersihan karena kakeknya PNS di bidang itu. Tetapi kini eFZet tidak menjadi demikian. eFZet sekarang menjadi Rektor di AMBB (Anak Muda Bikin Buku), bahkan tidak harus bergelar Guru Besar, hhehehe. Kenapa bisa terjadi? Karena eFZet berupaya menciptakan kondisi untuk hal tersebut, hhehehe.
 
Maka, kalau kamu saat ini merasa kurang pandai dalam matematika, suara begitu sumbang kala bernyanyi, atau merasa tulisan sama sekali tidak elok dibaca; pliiiiiis jangan dulu mencap diri sebagai MAKHLUK YANG TIDAK BERBAKAT. Karena siapa tahu, justru kamu adalah maestro di bidang olah raga, pakar di bidang IT, hebat dalam hal menulis. Yang belum apa? Yang belum adalah, mungkin kamu belum menyalakan gen bakatmu. Bakat apa saja!  Siapa tahu, di dalam dirimu ada bakat berbisnis seperti 'Abdurrahman ibn 'Auf, bakat sebagai sejarawan dan sosiolog hebat layaknya Ibn Khaldun, atau bakat berakting seperti Keanu Reaves, bakat bermain bola layaknya Messi, Zidan, dan yang lainnya.
 
Nah, setelah membaca tulisan ini apakah kamu akan terus meratapi nasib? Hei, segera bangkit, nyalakan gen positifmu, tersenyum, lalu lihat apa yang akan terjadi! cring...cring...cring...
 ,_._,___


No comments:

Post a Comment