Monday, February 27, 2012

wahabi


Ketika saya masih mahasiswa, saya tidak sempat aktif
di Masjid Salman.
Tetapi saya sudah banyak mendengar tentang Bang Imad
(panggilan akrab
cendekiawan muslim Dr. Imaduddin Abdulrahim, -red.)
dan mengaguminya
diam-diam. Saya mengajar di SMA PGII, karena saya
mendengar ia pernah juga mengajar di situ. Setelah
lulus dari UNPAD, saya mengajar agama di ITB, hanya
karena Bang Imad juga pernah menjadi dosen agama di
situ. Ketika mendapat beasiswa Fullbright, di antara
beberapa universitas yang menerima saya, saya memilih
Iowa State University; juga karena Bang Imad
mendapatka Master-nya (kelak doktornya) di tempat yang
sama.

Adalah di Ames, Iowa, saya menjadi sangat akrab dengan
dia. Di sini saya menemukan sisi lain dari
kepribadiannya. Di Indonesia, saya mengenal Bang Imad
sebagai cendekiawan dan pejuang Islam yang tegas,
keras, dan tanpa kompromi. Seperti Yusuf, ia berkata
"Tuhanku, penjara itu lebih aku sukai dari ajakan
mereka" (QS. Yusuf; 33). Ketika banyak rekan-rekannya
dikooptasi oleh penguasa Orde Baru, ia tetap melawan
walaupun dengan resiko harus mendekam di penjara.
Ketika suara-suara dibungkam, ia berteriak nyaring,
walaupun ia harus kehilangan banyak sahabatnya. Ketika
banyak akademisi yang
baru merasa sebagai ilmuwan dengan menjauhi agama, ia
menanamkan kecintaan kepada Al-Quran di lingkungan
akademis.

Secara simplistis, saya harus menyebutnya sebagai
seorang fundamentalis.
Kritiknya pada paham Islam tradisional sangat cocok
untuk menempatkan dia sebagai seorang Wahabi. Namun,
keakraban saya dengan dia dan keluarganya di Iowa
memaksa saya untuk mengubah gambaran sederhana itu. Ia
ternyata seorang fundamentalis yang modernis dan
bahkan liberal. Skemata dalam benak saya menjadi
kacau-balau.

Dalam kecintaannya kepada Al-Quran dan keyakinannya
bahwa dengan menegakkan Al-Quran kaum muslimin dapat
meraih kejayaannya kembali, ia seorang fundamentalis.
Ia banyak menghapal Al-Quran dan membacanya dengan
suara yang sangat bagus. Di Indonesia amat jarang kita
menemukan cendekiawan Islam berpendidikan Barat yang
membaca Al-Quran sefasih dan seindah Bang Imad. Ketika
menjadi imam salat, ia lebih mirip orang NU ketimbang
Muhammadiyyah.

Dengarkan ceramahnya, baca tulisannya, Anda akan
menemukan ia paling banyak merujuk pada Al-Quran.
Ketika sedang menyindir kaum modernis bukan keluaran
pesantren, Dr. Aqil Siraj pernah mengatakan bahwa
mereka dapat menyebutkan
ayat Al-Quran lengkap dengan nomor surat dan ayatnya,
tetapi tidak bisa membacanya. Orang NU umumnya dapat
membaca ayat dengan benar, tetapi sering lupa
menyebutkan letaknya. Bang Imad dapat melakukan
keduanya. Ia membaca ayat Al-Quran yang dikutipnya
dengan baik dan benar, lalu menyebutkan letak ayat itu
dengan sangat akurat.

Ketika ia menafsirkan ayat Al-Quran, ia sama sekali
bertentangan dengan pendekatan kaum fundamentalis. Ia
menggunakan pendekatan ilmiah. Sebagai misal, ia
menjelaskan sunnatullah sebagai hukum alam yang eksak,
tidak berubah-ubah, obyektif dan universal. Penangkal
petir menjalankan fungsinya tanpa mempedulikan di mana
ia berada -di masjid atau di bar. Api akan membakar
hangus baik orang jahat maupun saleh. Pendekatan ini
pernah mengundang diskusi yang ramai di antara para
pengikutnya, ketika mereka membicarakan mukjizat (api
tidak membakar Ibrahim) atau keramat (kiai
menyembuhkan penyakit dengan doanya). Dalam pandangan
mereka, membaca asmaul husna untuk lulus ujian,
membaca ayat Al-Quran untuk penyembuhan penyakit
fisik, dan sebagainya bukan saja bertentangan dengan
sunnatullah, tetapi juga syirk. Untuk lulus ujian,
sunnatullah mengajarkan Anda untuk belajar keras;
untuk sembuh dari penyakit, gunakan penemuan-penemuan
medis.

Para peserta diskusi itu sekarang harus merevisi
pandangan mereka, setelah mereka tahu Bang Imad,
marja' taqlid mereka, berobat dengan pengobatan
tradisional. Saya kira kita tidak perlu mengubah
konsep sunnatullahnya Bang Imad. Kita harus memahami
konsep itu dari pendekatan ilmiahnya untuk memahami
Al-Quran. Dengan memperhatikan konteks historis, kita
dapat mengerti kenapa Bang Imad sangat mengistimewakan
penafsiran ilmiah untuk ayat-ayat Al-Quran. Ia
menyampaikan penafsiran Al-Quran itu ketika sains
dilihat sebagai ukuran kebenaran yang paling tinggi.
Tahun enam puluhan sampai tahun tujuh puluhan adalah
situasi ketika positivisme menjadi dasar filosofis
ilmu, mekanika Newon menjadi paradigma utama, dan
mekanika Quantum belum mengubah pandangan kita tentang
alam semesta.

Penafsiran ilmiahnya menghapuskan wajah Wahabinya.
Padahal kalau kita
memperhatikan pandangan tauhidnya, Bang Imad jauh
lebih ekstrem dari orang Wahabi sendiri. Ketika kaum
Wahabi hanya mengharamkan tembakau, Bang Imad
memusyrikkan semua perokok. Rokok, seperti diulanginya
dalam ceramahnya berkali-kali, telah menjadi "illah
yang paling jahat." Rokok yang berkaitan dengan
masalah fiqih telah diangkat Bang Imad menjadi masalah
aqidah.

Pada sisi lain, Bang Imad sangat membenci
kecenderungan wahabisme yang beorientasi pada masa
lalu dan tidak menghargai sains. Tidak jarang ia juga
mengkritik Arabisme -Islam seperti ditampakkan dalam
perilaku yang khas Arab- dengan sangat pedas. Ia
sering mengutip firman Tuhan "Orang Arab itu sangat
besar kekafiran dan kemunafikannya." (QS. Al-Tawbah;
97). Di Iowa, saya menyaksikan banyak orang Arab
tersinggung karena kritiknya. Mereka berkata bahwa
orang Arab yang dimaksud dalam ayat itu adalah orang
Arab dusun, para nomaden di padang pasir. Tetapi
bukankah orang Arab yang
sekarang belajar di Amerika juga berasal dari
nenek-moyang yang tinggal di gurun juga, kata Bang
Imad.

Islam yang bertumpu pada tradisi -baik tradisi Arab,
India, atau Indonesia- sering menjadi sasaran
kritiknya. Bang Imad menginginkan Islam yang modern,
rasional, dan terbuka untuk menerima gagasan-gagasan
baru. Saya pernah mendengar ia mengkritik sekelompok
Islam di Amerika, yang mengisi waktu minggunya dengan
beriktikaf di masjid-masjid, sambil saling memijit di
antara sesama mereka. Kelompok ini menganggap salat
berjamaah sebagai ajaran Islam yang paling penting.
Mereka memakai busana Islam (sebetulnya pakaian
tradisional Indopakistani) dan memelihara janggut.
Seorang kawan saya dari
Malaysia tersinggung karena Bang Imad menyindir
janggutnya yang sukar
tumbuh. Ia mengingatkan kawan saya itu bahwa janggut
adalah tradisi Timur Tengah dan bukan tradisi Islam.
Ia menegaskan perlunya kita menggunakan akal sehat
ketika kita mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.
Orang masuk neraka bukan karena urusan janggut. Mereka
masuk neraka karena tidak menggunakan akalnya. Saya
masih ingat waktu itu Bang Imad mengutip surat
Al-An'am ayat 179: Dan sesungguhnya Kami sudah
memenuhi Jahanam dengan banyak sekali Jin dan manusia,
karena mereka punya hati, tetapi tidak dipakai untuk
mengerti. Mereka punya mata tetapi tidak dipakai untuk
melihat. Mereka punya telinga, tetapi tidak dipakai
untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang, bahkan
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.

Jika banyak bangsa lain tersinggung karena kritiknya,
tidak seorang pun orang Indonesia di Ames tidak
tertarik kepadanya. Bersama Bang Imad, kami membeli
rumah, menjadikannya masjid, dan menamainya Darul
Argum. Bersama dia juga kami menyelenggarakan
pengajian khusus untuk orang Indonesia. Di antara para
peserta pengajian itu ada Sri Bintang Pamungkas. Ia
selalu datang dengan topi cowboy dari Wild West. Ia
sering membawakan analisa ekonomi dan menawarkan
solusi yang berbasiskan Islam. Saya kira Bang Imad
banyak memberikan kontribusi pada pemikirannya
sebagaimana ia banyak mempengaruhi orang Indonesia
lainya, termasuk saya- yang belajar di Iowa State
University. Ketegasan dalam memegang teguh pendirian
dan keterbukaannya untuk mendengarkan gagasan yang
lain mendekatkan kami kepadanya.

Bagi kami, Bang Imad merupakan tokoh panutan yang
mengamalkan apa yang dikhotbahkannya. Hatinya
transparan. Kita tidak sulit meramalkan
perilakunya. Ia tidak pandai berbasa-basi. Dari dia,
saya belajar untuk bicara jujur, apa pun resikonya.
Ketika saya "diadili" oleh Senat Fakultas dengan
tuduhan "saudara benar, tetapi cara saudara
bertentangan dengan sopan santun ketimuran", saya
menuding Bang Imad sebagai penyebab "kesalahan" saya.
Kesundaan saya telah dimedankan. Saya pernah
berkali-kali diinterogasi oleh petugas Laksusda Jawa
Barat dengan tuduhan subversif. Saya menjawab apa
adanya. Aneh, saya tidak takut pada kumis lebat
pemeriksa. Teror apa pun yang mereka lakukan kepada
saya tidak menyurutkan keberanian saya. Saya
harus menyebut Bang Imad sebagai sumber inspirasi
keberanian saya. Sekiranya mereka mengajak saya untuk
menghentikan kritik saya pada Orde Baru, saya akan
membaca lagi "Tuhanku, penjara itu lebih aku sukai
dari ajakan mereka" QS. Yusuf; 33). Cuma kali ini saya
membacanya tidak sefasih Bang Imad.

Saya kira saya berurusan dengan tentara, karena
pengajian yang saya berikan di Masjid Salman. Atas
"perintah" Bang Imad, saya masuk ke Salman. Saya
menjadi instruktur tetap untuk Latihan Mujahid Dakwah
(yang namanya berganti-ganti karena pertimbangan
keamanan). Para mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi seluruh Indonesia berkumpul di Salman. Mereka
pulang ke tempatnya masing-masing dengan membawa
semangat tauhid-nya Bang Imad. Mereka meramaikan
masjid-masjid kampus. Mereka juga mengundang saya
untuk berdiskusi di tempat mereka masing-masing. Dari
masjid-masjid kampus inilah lahir Lembaga Dakwah
Kampus, yang kelak menjadi sokogurunya ICMI. Jika saya
menyumbangkan sebutir debu dalam sahara kebangkitan
Islam di Indonesia, semuanya bisa saya hubungkan pada
jasa Bang Imad. Saya hanya sekedar penyambung
lidahnya. Soalnya, waktu itu Bang Imad masih
"terpenjara" di Amerika Serikat.

Ketika ia kembali ke Indonesia, saya bergabung lagi
dengannya di Salman. Sayangnya, entah kenapa, ia tidak
diterima lagi di ITB. Ia harus hijrah ke Jakarta. Pada
pertemuan yang singkat itu, saya sempat memintanya
untuk menulis kata pengantar buat buku saya Islam
Alternatif. Ia memberikan apresiasi yang tinggi,
sambil tidak lupa mengkritik saya. Ketika banyak orang
mempersoalkan pengaruh Syiah pada tulisan saya, ia
menulis, "Sebagai salah satu mazhab dalam Islam,
bagiku tidak ada masalah Sunni dan Syiah.
Sesungguhnya, kedua label ini bahkan harus
dihilangkan. Kita harus
menyatakan diri, bukan Sunni dan bukan Syiah, tetapi
Islam (seorang muslim).
Aku pernah salat di belakang Imam Syiah seperti juga
aku sering salat di belakang Imam Sunni. Sebagai
mazhab pemikiran, aku setuju dengan pendekatan Islam
yang komperehensif, tetapi tidak akan pernah setuju
dengan konsep imamah yang otoriter."

Jiwa terbuka Bang Imad dapat mentolerir mazhab apa
pun. Tetapi para
administratur Salman tidak melanjutkan keterbukaan
ini. Saya
dipersona-non-gratakan dari Salman. Salah seorang
pembina Masjid Salman menuduh saya sudah meracuni
jemaah, sehingga mereka tidak mau lagi mendatangi
pengajian yang diberikan mubalig yang lain.
Sebagaimana Bang Imad, saya akhirnya memilih hijrah ke
Jakarta. Tetapi sebagian besar jemaah saya memilih
tinggal di Salman, sambil tetap menjalin hubungan
ruhaniah dan intelektual dengan saya, di mana pun saya
berada. Ketika saya mendirikan pusat-pusat kajian
Islam di Bandung sekarang ini, para penggeraknya tidak
lain dari jemaah saya di Salman dahulu.

Sekarang, ketika mengenang ulangtahun Bang Imad yang
ketujuh puluh, apa sih jejaknya yang tidak saya ikuti?
Guru SMA PGII, dosen ITB, Master of Science dari Iowa
State University, mubalig yang kritis, hijrah ke
Jakarta, sampai pada bimbingan haji!

Dalam sebuah pesawat yang mengangkut jemaah Umrah,
saya melepaskan sabuk pengaman saya, berusaha berdiri
di sela-sela kursi yang sempit. Saya melihat Bang Imad
lewat. Ia menyapa saya dengan akrab, masih menggunakan
kata Saudara!" Di Amman, di sebuah restoran yang
sekaligus pasar souvenir, Bang Imad memanggil saya. Ia
memperkenalkan diri saya kepada jemaahnya sebagai
seorang guru besar. Saya masih juga menikmati sapaan
akrabnya "Saudara!". Lebih dari duapuluh tahun yang
lalu, saya berbaring di rumahnya yang asri di Ames.
Anak-anak Bang Imad duduk di atas perut saya, bercanda
dan bermain-main. Sementara itu, ibunya sedang
mempersiapkan makanan bagi kami.
Gelak tawa kami terhenti karena Bang Imad memanggil
saya; masih dengan sapaan yang sama "Saudara!"

Teriring doa, semoga Allah swt memanjangkan usia Bang
Imad dan melimpahkan kepadanya kasih-sayang-Nya, saya
ingin dipanggil lagi olehnya dengan panggilan yang
sama "Saudara!". Dalam panggilan itu, saya merasakan
perhatian, keakraban, kasih sayang, dan penghormatan.
Semua unsur itu disimpulkan oleh Erich Fromm dalam
satu kata: LOVE. Bang Imad, I love you too!

Ditulis khusus oleh KH. Jalaluddin Rakhmat untuk
memperingati hari jadi cendekiawan muslim Indonesia,
Dr. Imaduddin Abdurrahim, ke-70 tahun.

No comments:

Post a Comment